BAHAN KULIAH
SOSIOLOGI HUKUM
Bab I Pengantar
Pendekatan hukum positivistik,
normatif, legalislitik, formalistik.
Pendekatan ini lebih melihat hukum
sebagai bangunan morma yang harus dipahami dengan meanganilis teks atau bunyi
undang-undang atau peraturan yang tertulis. Dalam rangka mempelajari teks-teks
normatif tersebut maka yang menjadi sangat penting untuk menggunakan logika hukum
(legal reasoning) yang dibangan atas
dasar asas-asas, dogma-dogma, doktrin-doktrin, dan prinsip-prinsip hukum
terutama yang berlaku secara universal dalam hukum (modern).
Dalam kenyataannya pendekaan
ini memiliki kelemahan atau kekurangan karena tidak dapat menjelaskan
kenyataan-kenyataan hukum secara memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak
sesuai dengan aturan-aturan hukum yang tertulis. Seperti ketika prinsip hukum
undang-undang menyatakan bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the law, hukum tidak
boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus
ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya
terdapat kesenjangan (gap atau
diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi.
Pendekatan Hukum Empiris,
Sosiologis, Realisme, Konteks Sosial
Pendekatan ini lebih melihat hukum
sebagai bangunan sosial (social
institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum
tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis
tetapi sebagai kenyataan social yang menafest dalam kehidupan. Hukum tidak
dipahami secara tekstual normative tetapi secara konteksual. Sejalan dengan itu
maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi
juga dengan logika social dalam rangka seaching
for the meaning.
Pendekatan ini diharapkan
dapat menjelaskan berbagai fenomena hukum yang ada melalui alat bantu logika
ilmu-ilmu sosial. Berbagai praktek-praktek hukum yang tidak sesuai dengan
aturan normative, disparitas hukum, terjadinya deviant behavior, anomaly hukum,
ketidakpatuhan (disobedience),
pembangkangan hukum, violent,
kriminalisme dan sebagainya akan lebih mudah dijelaskan melalui pendekatan ini.
Perbandingan
dua model pendekatan hukum
Aspek
|
Hukum Positivis
analitis (Jurisprudential)
|
Model Sosiologis
|
Fokus
|
Peraturan
|
Struktur Sosial
|
Proses
|
Logika
|
Perilaku (behavior)
|
Lingkup
|
Universal
|
Variabel
|
Perspektif
|
Pelaku (Participant)
|
Pengamat (Observer)
|
Tujuan
|
Praktis
|
Ilmiah
|
Sasaran
|
Keputusan (Decission)
|
Penejelasan (Expalanation)
|
Sumber : Donald Black. Sociological Justice, 1989 : 21.
Menuju pendekatan hukum yang
holistik dan visoner.
Sebagai upaya menuju pemahaman
hukum secara holistic dan visoner kiranya diperlukanm adanya pergeseran
paradigma (paradigm shift) dimana
kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara sinergis dan komplementer.
Artinya, pendekatan terhadap hukum tidak hanya mengambil salah satu, tetapi
harus mengambil keduannya secara utuh sehingga akan dapat dilakukan analisis
secara holistic dan komprehensif.
Pendekatan hukum yang
positistik saja akan menyebabkan hukum akan teralienasi dari basis sosial
dimana dimana hukum itu berada. Pendekatan ini semata mungkin akan dapat
memperoleh nilai kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum.
Sebaliknya pendekatan hukum
empiris, sosiologis, realisme, atau konteks sosial saja akan menyebabkan
seolah-oleh hukum tertulis menjadi tidak diperlukan tetapi hanya melihat
realitas hukum yang terjadi. Jika pendekatan ini dipakai sebagai satu-satunya
alat dalam memahami hukum maka sangat dapat mengakibatkan terjadinya
ketidakpastian hokum bahkan dikhawatirkan tidak lagi diperlukan lagi adanya
hukum atau undang-undang sehingga lebih lanjut dapat terjadi anarkisme hukum.
Positivisme Hukum
·
Berkembang
pesat pada abd IX sejalan dengan tumbuhnya konsep Negara-negara modern
·
Siostem
trias politika yang membagi kekuasaan Negara menjadi tiga dan kekuasaan
legislative memproduksi hukum sebanyak mungkin
·
Gerakan liberalisme yang bertujuan untuk
melindungi kepentingan individu melalui hukum tertulis
·
Munculnya tokoh pemikir gerarakan positivisme
seperti
·
H.L.A
Hart
1) Undang-undang
adalah perintah manusia
2)
Todak
perlu ada hubungan hukum dengan moral
3) Sistem
hukum adalah logis dan terutup
4)
Penilaian
moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan
5)
Esensi
hukum terletak pada adanya penggunaan paksaan
·
Lon
Fuller : ada 8 (delapan) prinsip yang harus diperhatikan dalan substansi
hukum positip
·
John Austin : Hukum adalah perintah kekuasaan politik yang
berdaulat.
·
Hans Kelsen
: Teori Hukum Murni, dan teori Stufenbau.
Paham Positivisme di Indonesia
berkembang karena :
A. Pendidikan
hukum di Indonesia
lebih mengarahkan kepada tujuan untuk menciptakan sarjana Hukum yang
profesional (keahlian hukum yang monolitik). S1 mencetak tukang untuk
menerapkan à
bagaimana menciptakan SH yang handal dalam profesi hukum, seolah-olah hukum di
dominasi Undang-undang à normatik, sehingga realitas hukum dianggap realtif
tidak penting.
1. Pendidikan
di Indonesia mewarisi tradisi continental law yang mengikuti civil law
Hukum adalah sesuatu yang sudah
ada dalam UU atau perturan tertulis, sehingga sumber hukum hanyalah
undang-undang dan di luar itu tidak ada hukum. Hal tak lepas dari sistem hukum Belanda yang dibawa colonial masuk ke
Indonesia dengan psrinisp konkordansi. Asumsinya undang-undang tidak boleh
diprotes, UU dianggap sudah baik karena pembentuk hukum sudah merancangh dengan
sungguh-sungguh.
-
Civil law
cenderung empiris / induktifnya tidak digunakan
-
Lobus de droit
: hakim adalah mulut undang-undang karena hakim dalam menentukan putusan sudah
ditentukan oleh undang-undang, sehingga penemuan-penemuan hukum menjadi miskin
2. Pendidikan
hukum di Indonesia
lebih banyak mengajarkan pada fisiologi hukum tapi kurang mengajarkan pada
patologi hukum. Kebanyakan yang diajarkan hanya asas-asas dan norma hukum
substantive, tetapi ilmu penyakit hukumnya tidak diajarkan sehingga kita tidak
terbiasa menganalisis penyimpangan-penyimpangan dalam bekerjanya hukum, padahal
hal itu menjadi penting untuk meberikan terapi bagi penyakit hukum.
Menurut Satjipto
Rahardjo
1.
tidak
banyak melakukan penelitian hukum di
lapangan
2.
tidak
banyak melakukan kritik-kritik terhadap hukum
3. beranggapan
sistem hukum tidak bisa dirubah
Perkembangan Ke Arah Ilmu Hukum Sosiologis
Memasuki Abad XX mulai muncul pemikiran
untuk meberikan penjelasan lebih baik terhadap hekakekat hukum dan tempat hukum
dalam masyarakat. Ketidakpuasan terhadap positifisme kian berekembang karena paham
tersebut acapkali tidak sesuai dengan keadilan dan kebenaran sehingga muncul
gerakan-gerakan untuk “melawan” positifisme. Hal itu tampak dari
fenomena yang disebut:
1. Donald
Black à
The age of sociology
2.
Morton White à The revolt against formalisme
3.
Alan Hunt à The sociological movement
in law.
Keadilan
kadang sulit terungkap. Jika berhadapan dengan formalisme, dimana hakim dalam suatu kasus kadang sulit untuk
membuktikan meskipun yakin kalau si pelaku bersalah.
Menurut Gustav
Radbruh : hukum harus mengandung tiga nilai idealitas :
1.
Kepastian à yuridis
2.
Keadilan à Filosofis
3.
Kemanfaatan à Sosiologis
Menurut Prof.
Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
1.
Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap
praktek-praktek hukum
2. Menguji empirical validity dari
peraturan/pernyataan dan hukum
3. Tidak melakukan penilaian terhadap
perilaku hukum à sebagai
tetsachenwissenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu
sama dengan law as it is in society,
namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.
Dari
bagan tersebut dapat
dijelaskan bahwa :
a) Setiap peraturan
hukum memberitahu tentang
bagaiman seorang pemegang
peranan (role occupant) itu
diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu
akan bertindak sebagai
respons terhadap peraturan
hukum merupakan fungsi-peraturan-peraturan yang ditujukan
kepadanya, sanksi-sanksinya,
aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana
serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
b)
Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana
itu akan bertindak sebagai respons terhadap
peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum
yang ditujukan kepada
mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan
kompleks kekuatan sosial,
politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka
serta umpan balik yang datang
dari pemegang peranan.
c)
Bagaimana para pembuat
undang-undang itu akan bertindak
merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya,
keseluruhan kompleks kekuatan sosial,
politik, ideologis dan lain-lainnya yang
mengenai diri mereka serta umpan balik yang
datang dari pemegang peran
serta birokrasi.
HUKUM SEBAGAI SUB SISTEM
SOSIAL
Menurut teori sibenertika
Talcoot Parson suatu sistem social pada
hakekatnya merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem social yang
saling mengalami ketergantuangan dan keterkaitan sau dengan yang lain.
Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling
ketergantungan.
Hukum
Sosial politik
Ekonomi budaya
Slah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya,
demikian juga ketika terjadi supremasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.
Perbandingan Karakteristik
Karakteristik
|
Hk. Sosiologi |
Sosiologi Hukum |
1. Ilmu Induk
|
1. Ilmu
|
1. Sosiologi
|
2. Sifat
kajian
|
2. Hub.
Noramtik/logistik
|
2. Kusalitas
(exprerience)
|
3. Titik tolak
|
3. Sollen
(ius)
|
3. Fakta
(sein)
|
4. Teori
|
4. Ajaran
pandangan ttg norma
|
4. Hub. antar
gejala sistem
|
5. Kedudukan
Hk.
|
5. Sbg titik
tolak / orientasi
|
5. Sbg. Alat
uji
|
6. Obyek
kajian
|
6. Norma
|
6. Perilaku
|
7. Metode
prosedur
|
7. Ilmu Hukum
|
7. Sosiologi
|
8. Logika
|
8. Deduktif
|
8. Induktif
|
Bab II Obyek Sosiologi Hukum
Obyek Sosiologi Hukum
·
Beroperasinya hukum di masyarakat ( ius operatum) atau law in action dan pengaruh timbal balik antara hukum dan
masyarakat.
·
Dari segi statiknya (struktur) : kaidah sosial,
lembaga sosial, kelompok social dan lapisan sosial.
·
Dari segi dinamiknya ( proses sosial), interaksi
dan perubahan sosial.
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto:
1)
Mempelajari hukum sebagai alat pengendali sosial ( by government ).
2)
Mempelajari
hukum sebagai kaidah sosial. Kaidah moral yang dilembagakan oleh
pemerintah.
3)
Stratifikasi sosial dan hukum.
4)
Hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto :
1.
Hukum dan
struktur sosial masyarakat. Hukum merupakan Social Value masyarakat.
2.
Hukum,
kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya.
3.
Stratifikasi sosial dan hukum.
4.
Hukum dan nilai sosial budaya.
5.
Hukum dan kekerasan.
6.
Kepastian
hukum dan keadilan hukum.
7.
Hukum
sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial.
BAB III
MASUKAN PEMIKIRAN SOSIOLOGI HUKUM
Melahirkan kodifikasi yang bersifat tertutup.
Dilanjutkan Hans Kelsen dengan
Teory Stuffen Baw.
Grundnorm
Hukum adalh bangunan norma-norma
yang bersifat hierarkhis, ( lex superior derogat lege inferior),( lex specialis
derogat lege generalis)
-melahirkan faham positifisme/
formalisme.
Historical Yurisprudensi: Von
Savigny,
-Hukum adalah cermin dari jiwa
rakyatnya maka muncul istilah-sulis supreme juristex, dan hukum harus dilihat
dari sosial budaya masyarakat.
-Kekuasaan membentuk hukum ada pada
rakyat maka hukum itu ditemukan seiring dengan perkembangan masyarakat ( dari
hukum sebagai sistem masyarakat sosial masyarakatnya.
-Gerakan melawan formalisme, di
Inggris tokohnya adalah Jeremy Bentham dll.
Sosiologische Yurisprudence (
Roscoe Pound)
-Ilmu Hukum yang sosiologis
-Akan terjadi pembangkangan sosial
kalau hukum dibuat tidak berdasar pada kehidupan sosial masyarakatnya.
-Pada perkembangannya aliran ini
timbullah aliran realisme hukum (di Amerika).
Legal Realisme (Amerika)
Apa yang ada dalam kenyataan,
Tool as Social Engeenering berubah
daripembentuk UU ( Legislator) , menjadi hakim.
Critical Legal Study Movement: Gerakan Studi Hukum Kritis.
-Lahir di Harvard, muncul atas ketidaksukaan mereka akan determinannya
politik.
Contoh: dalam perang Vietnam .
-Pelopornya Roberto Mangabeira
Unger
-Tema : menolak tradisi hukum Liberal yang dominan.
Adanya ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh hukum.
-Elektis ( pendekatan yang tidak konsisten)
Sintesis ( dua pendekatan yang digunakan bersamaan).
-Membuka teori Obyektivitas hukum ( kaya kritik, dikembangkan oleh orang
positifisme).
( hukum tidak bisa dipisahkan dari politik).
-Hukum direkonstrusi kembali.
-Hukum itu dapat dinegosiasikan.
-Hukum itu subyektif, tergantung pada politik dan kekuasaan.
-Hukum mengandung Hidden Politikal
Interest.
-CLS ,menggugat keabsahan hukum.
-Mendekonstruksi hukum.
TEORI-TEORI SOSIOLOGI :
Teori-teori
hukum
Sos Hukum
Emile Durkheim
Teori-teori sosiologis
Max Weber
Emile Durkheim oarng Perancis, menjelaskan bahwa hkum harus dilihat dari
prespektif solidaritas yang ada di masyarakatnya.
Solidaritas mekanis ( mechanical solidarity)
Masyarakat
Solidaritas mekanis ( mechanical solidarity)
Masyarakat
Solidaritas
organik ( organic soidarity)
Solidaritas mekanis ( seperti mesin
otomatis) berbeda dengan solidaritas organis ( ikatan terjadi karena fungsi).
( sederhana)-paguyuban ( joyo diguno)
Gesselschaaf
-simple society( kuutza)
-Hukum
bersifat restitutif karena pelanggaran terhadap hukum dipersonalisasikan terhadap si korban ,
srhingga hukum melin-
ngi
kepentingan individu, hukum untuk mengganti kerugian in-
dividu (
perdata).
-conflict :
disosiasi tinggi
-patembayan
-moshav (Ricard Swartz).
Jadi teorinya Richard Swartz justru kebalikan dari teorinya Emile Durkheim.
Bab IV STRUKTUR SOSIAL
Struktur Sosial
dalam masyarakat terdiri dari :
1.
Social Norm.
2.
Social institution
3.
Social Stratification.
4.
Social Group.
Social Control
maksudnya supaya semua orang punya perilaku sesuai harapan yang menimbulkan
komformitas social yaitu pola perilaku yang sesuai dengan norma sehingga
tercapai tujuan diberlakukannya suatu kaidah sosial.
Kenyataannya sering
terjadi kondisi-kondisi nonconformity, sehingga kontrol sosial yang dilakukan
oleh masyarakat atau kekuasaan negara tidak sesuai harapan yang ada.
Kontrol social dapat dilakukan oleh masyarakat (social control by society)
maupun oleh Negara (social control by government). Kontro oleh masyarakat
melalui kaidah social non formal sementara oleh Negara dilakukan melalui kaidah
social bersifat formal.
Dunia kenyataan dunia ideal
Das sein das sollen
Norma
Antara ideal dan nyata
Dunia kenyataan dunia ideal
Das sein das sollen
Norma
Antara ideal dan nyata
Kaidah sosial dan Hukum
sebagai social Kontrol.
Social Control merupakan aspek normatif dalam kehidupan sosial.
Kontrol bertujuan agar perilaku masyarakat antar apa yang seharusnya (
nilai ideal) yang terumuskan dalam norma.
“Donald Black”
( Social Control is Quantitatif variabel kuatitatif, tidak konstan dan tidak ajeg)
The Quantity of law varios Intime
and Place: Kuantity hukum bervariasi sesuai waktu dan tempat.
Contoh : Pasal 534 bahwa memperlihatkan alat kontrasepsi
diddepan umum, dipidana.
Terjadi tarik-menarik antara hukum dan kontrol sosial.
-Hukum menguat ketika kontrol sosial lain melemah.
-Hukum melemah ketika kontrol sosial menguat.
Apakah dimungkinkan sama ?
-Dapat dimungkinkan karena akan memperkuat,
namun ini dapat dikatakan mustahil, karena hukum merupakan Ultimum
Remidium, hukum sebagai alternatif terakhir setelah kontrol sosial tidak
mempan.
Richard schwartz.
-Kuutza ( kolektivisme) yang lebih efektif adalah kontrol sosial secara
internal.
-Mashar ( individualistis) yang efektif, kontrol sosial melalui hukum.
Kaidah Sosial dan Kaidah Hukum sulit
dibedakan :
-Karena keduannya teroperasi secara bersama dalam masyarakat.
-Ke-2nya mempunyai tujuan yang sama, sebagai alat kontrol sosial.
-Terjadi saling tarik diantara ke-2nya.
Leopad Pospisil
Kaidah dinamakan hukum jika memenuhi :
( atribut of authority)
-Kaidah itu dinamakan kaidah hukum jika dibuat oleh mereka yang punya
kewenangan.
(atribut attention)
-Bahwa kaidah itu mempunyai tujuan dan berlaku secara unversal.
-Kaidah berlaku secara universal dan tidak untuk sementara waktu.
HUKUM DAN LEMBAGA
KEMASYARAKATAN.
Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling
ketergantungan.
Slah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya,
demikian juga ketika terjadi supremasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.
Daniel S. Lev.:
Politik adalah sistem yang primer dan hukum sebagai pengikutnya ( kehidupan
negara berkembang/ negara bekas jajahan).
Contoh : Indonesia di masa ORBA.
Mahfud M.D.
“Hukum Produk Politik”
Pengaruh konfigurasi politik
terhadap karakter produk hukum
Variabel bebas/ pengaruh
Variabel tergantung/ tergantung.
Non demokratis/otoriter konservatif, ortodoks. progressif
Ciri-ciri demokratis:
-Peran serta publik dalam pembuatan kebijakan negara/ publik.
-Badan perwakilan menjalankan fungsi dalam pembuatan kebijakan.
-Pers bebas sebagai fungsi kontrol.
Ciri-ciri hukum yang responsif atau otonom:
-Hukum memenuhi kebutuhan kepentingan individu dan masyarakat.
-Proses pembuatan hukum partisipatif.
-Fungsi hukum sebagai instrumen pelaksana kehendak rakyat.
-Interpretasi hukum dilakukan oleh yudikatif.
Ciri-ciri konfigurasi hukum yang otoriter :
-Pemerintah atau eksekutif dominan.
-Badan perwakilan sebagai alat justifikasi ( tukang stempel).
Pers yang tidak bisa bebas.
Ciri-ciri konservatif:
-Hukum untuk memenuhi visi politik penguasa.
-Pembuatan hukum tidak partisipatif.
-Fungsi hukum sebagai legitimasi program penguasa.
-Hukum abstrak interpretasi penguasa sesuai dengan visi politiknya.
Bab V
PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM (
SOCIAL CHANGE ).
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan sosial, hanya prosesnay ada
yang cepat, ada yang lambat.
Contoh: Orang Asmat beda dengan
orang-orang kota .
Perubahan yang terlalu cepat,
sehingga kadang hukum sulit untuk mengikutinya.
Robert Sutterland, 4 Faktor yang
menyebabkan “Social Change”:
1. Karena ada proses inovation/ pembaruan.
2. Invention : penemuan teknologi di bidang industri, mesin dst.
3. Adaptation : adaptasi yaitu suatu proses meniru suatu cultur,gaya
yang ada di masyarakat lain.
4. Adopsim: ikut dalam penggunaan penemuan teknologi.
1. Karena ada proses inovation/ pembaruan.
2. Invention : penemuan teknologi di bidang industri, mesin dst.
3. Adaptation : adaptasi yaitu suatu proses meniru suatu cultur,
4. Adopsim: ikut dalam penggunaan penemuan teknologi.
Perubahan sosial adalah perubahan yang bersifat fundamental, mendasar,
menyangkut perubahan niali sosial, pola perilaku, juga menyangkut perubahan
institusi sosial, interaksi sosial, norma-norma sosial.
-Hubungan antara Social Change dengan hukum:
hhukum harus mengiuti perubahan sosial.
Efektivitas hukum sebagai tertib sosial : hukum untuk sosial control.
Pengendalian Sosial, menurut S. Rouck yaitu suatu proses/ kegiatan baik
yang bersifat terencana atau tidak yang mempunyai tujuan untuk mendidik
(edukatif), mengajak (persuasif), memaksa (represif), agar perilaku masyarakat
sesuai dengan kaidah yang berlaku ( konform), sehingga hukum sebagai Agent of
Stability ( hukum sbg penjaga stabilitas). Pada suatu ketika hukumada di
belakang ( tertinggal).
-Perubahan Sosial.
Adanya perubahan sosial yang cepat tapi hukumnya belum bisa mengikuti
disebut hukum sebagai Social Lag yaitu hukum tak mampu melayani kebutuhan
sosial masyarakat, atau disebut juga disorganisasi, aturan lama sudah pudar
tapi aturan pengganti belum ada.
-Anomie yaitu suatu kondisi di mana individu atau masyarakat tidak bisa
mengukur apakah suatu perubahan dilarang atau tidak, malanggar hukum atau
tidak.
-Hukum sebagai pelopor perubahan “
Agent of Change”
Setiap perubahan sosial menuntut perubahan hukum palin tidak ada dua institusi:
1. Lembaga Pembentuk Hukum.
2. Lembaga pelaksana Hukum.
1. Lembaga Pembentuk Hukum.
2. Lembaga pelaksana Hukum.
Perubahan hukum tidak harus
dimaknai perubahan UU atau bunyi pasal.
Hukum Modern:-Hukum tidak hanya
merespon perubahan sosial yang terjadi tapi juga merespon hukum masa depan (
futuristik).
Common Law : hukum sebagai Judge
Made Law.
Civil Law : yang melakukan
perubahan hukum adalah Legislatif.
Lembaga Legislatif lebih berperan sebagai politik daripada eksekutif.
Contoh Pasal 534 KUHP : mematikan penegak hukum : secara normatif ada
aturannya tapi prakteknya tidak berfungsi : dilarang mempertontonkan alat
kontrasespsi di depan umum.
Roscoe Pound berpendapat bahwa
hukumm sebagai alat perubahan sosial, sedangkan Karl Marx justru pendapatnya bertentangan yaitu bahwa perubahan
sosial tidak mungkin diciptakan oleh hukum, tetapi teknologi dan ekonomi. Hukum
merupakan suprastruktur di atas ekonomi dan teknologi.
Hukum sesungguhnya hanya institusi
yang mengikuti perubahan sosial.
Menurut Von Savigny, hukum bukan merubah konsep dalam masyarakat karena
hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu
berubah seiring perubahan sosial.
Menurut Summer, ia tdak menyetujui
hukum sebagai perubah sosial, menurutnya setiap perubahan sosial terjadi “
mores” yaitu aturan tidak tertulis yang hidup di masyarakat.Jadi hukum hanya
melegalisasi mores menjadi hukum.
Hukum tidak sekedar produk
masyarakat, tapi bisa dibentuk oleh pembentuk hukum itu sendiri, hakim dst. Jadi hukum bukan semata-mata tumbuh dalam
masyarakat secara alami.
Menurut Roscoe Pound, bahwa hukum sebagai alat perekayasa sosial, contoh:
hakim merekayasa sosial, terjadi di negara Common Law sedang di negara Civil
Law hukum dibentu oleh para pembentuk hukum.
Dalam konsep John Austin, hukum
adalah perintah dari kedaulatan, hukum sebagai instrumen yang melakukan/
memenuhi kebutuhan publik.
Pada UU yang baru, dimasukkan
hal-hal supaya masyarakatnya berubah, contoh: adanya pengaruh dari luar pada UU
HaKI, UU Kepailitan, dengan maksud untuk merubah perilaku orang dibidang HaKI,
Kepailitan dst, karena pada awalnya orang Indonesia tidak mempunyai budaya
untuk melindungi hak kekayaan intelektual, denagn beranggapan bahwa hal itu
karunia Tuhan yang tidak perlu dipertahankan perlindungannya. Akhirnya dalam UU itu diberi muatan agar masyarakat
mengetahui hal itu , ada kemungkinan gagal atau mungkin berhasil dalam hal ini.
Jika internalisasi berhasil, maka akan diterima oleh masyarakat tapi jika tidak
berhasil yang terjadi “ soft
development” (perkembangan yang lunak) atau hampir tidak ada pengaruhnya
terhadap masyarakat.
Hukum sebagai sarana perubahan
sosial, Law As Tool of Social Engeenerig/ social planing.
Hukum diberi muatan nilai baru yang
bertujuan untuk mempengaruhi atau menimbulkan perubahan sosial secara terarah
dan terencana.
The Process of Social Engeenering
by The Law
1.
Memberi imbalan ( reward) bagi pemegang peran.
2. Mermuskan tugas penegak hukum untuk menyerasikan peran dan kaidah hukum.
3. Mengeliminasi pengaruh negatif pihak ke-3.
4. Mengusahakan perubahan pada persepsi, sikap dan pemegang peran.
2. Mermuskan tugas penegak hukum untuk menyerasikan peran dan kaidah hukum.
3. Mengeliminasi pengaruh negatif pihak ke-3.
4. Mengusahakan perubahan pada persepsi, sikap dan pemegang peran.
Ad 1), Dengan adanya peraturan keputusan baru maka ada perubahan nlai, pola
perilaku lembaga-lembaga dst yang seketika / langsung.
Contoh: yurisprudensi MA, hak mewaris janda sama dengan anak kandung:
mematahkan pemikiran bahwa warisan hanya untuk yang berhubungan darah.
Contoh lain: UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa syarat usia kawin
di hukum Adat tidak ada juga di hukum Islam.
Nilai Sosia adalah suatu persepsi/ anggapan yang ada pada sebagian besar
masyarakat mengenai apa yang dianggap buruk, boleh, etis, sopan dst.
Ad 2). Indirect change : terjadi
ketika hukum hanya memfasilitasi tumbuhnya Agent of Change.
Faktor : (3) kecepatan (jangka
waktu)
Menanam unsur baru.
Ad 1) Seberapa jauh dalam menanamkan nilai-nilai itu ke dalam perilaku
masyarakat.
Ad 2) Sejauh mana resistensi masyarakat terhadap perubahan baru jika
eksistensi makin kuat maka pelembagaannya makin berhasil.
Ad 3) Dibagi waktu yang digunakan
untuk menanam unsur baru tersebut.
Faktor yang menetukan keberhasilan
pencegahan hukum/ efektifitas hukum ada 4 :
1, Pengguanaan situasi yang dihadapi dengan baik.
2, Analisa terhadap nilai-nilai yang ada.
3, Verifikasi hipotesa.
4, Pengukuran efek UU yang ada.
Menurut William Evans : prasarat
yang menentukan keberhasilan hukum sebagai alat perubahan sosial :
1. Apakah sumber hukum yang baru memiliki kewenangan dalam wibawa.
2. Apakah hukum yang baru telah memiliki dasar pembenar yang dapat dijelaskan.
3. Apakah isi hukum yang baru telah disiarkan sedcara luas.
4. Apakah jangka waktu peralihan yang digunakan telah dipertimbangkan dengan baik.
5. Apakah penegak hukum menunjukkan rasa ketertarikannya terhadap UU yang baru.
6. Apakah pengenaan sanksi menjadi efektif.
1. Apakah sumber hukum yang baru memiliki kewenangan dalam wibawa.
2. Apakah hukum yang baru telah memiliki dasar pembenar yang dapat dijelaskan.
3. Apakah isi hukum yang baru telah disiarkan sedcara luas.
4. Apakah jangka waktu peralihan yang digunakan telah dipertimbangkan dengan baik.
5. Apakah penegak hukum menunjukkan rasa ketertarikannya terhadap UU yang baru.
6. Apakah pengenaan sanksi menjadi efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar